Malu Menjadi Ciri Khas Manusia Sehat

 on 04 April 2014  


اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”(HR. Bukhari-Muslim)

CERAMAH tasawuf | Malu menjadi ciri khas manusia sehat secara spiritual, sifat ini disematkan kepada manusia agar menimbulkan kemampuan untuk menahan diri dari berprilaku binatang, kata al haya’u (malu) seakar dengan kata al-hayatu (hidup), Ibn Qayyim menegaskan, Sedikitnya rasa malu tanda hati dan ruh mati, juga seakar dengan kata al-hayaa (air hujan) yang berarti menumbuhkan dan membangkitka untuk menjalankan perintah karena malu kepada Allah, derajat sifat malu amatlah mulia di Sisi-Nya.

Sedangkan menurut istilah malu adalah akhlaq yang sesuai dengan sunnah, membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara yang buruk dan menjalankan perintah Allah sebagai kewajiban dan memenuhi hak Allah atas hambanya. Bisa dibayangkan betapa bejatnya orang yang kehilangan sifat malu “Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu maka lakukanlah sekehendakmu’

Al kisah ada seorang sahabat mendengar
Rasul saw bersabda: “Hendaklah kamu benar-benar malu kepada Allâh!”.
Kami mengatakan, “Wahai Rasûlullâh, al-hamdulillah kami malu (kepada Allah)”.
Rasul bersabda: “Bukan begitu, Tetapi sesungguhnya malu kepada Allâh adalah engkau menjaga kepala dan isinya, menjaga perut dan apa yang berhubungan dengannya, dan hendaklah engkau mengingat kematian dan kebinasaan. Dan barangsiapa menghendaki akhirat, dia meninggalkan perhiasan dunia. Barangsiapa telah melakukan itu, berarti dia telah benar-benar malu kepada Allah (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Karena malu adalah sifat tentu bisa menmpel dimana-mana, bahkan bisa menempel diperbuatan baik, ada sebagian orang yang melakukan perbuatan buruk karena malu dengan temannya, ada juga yang melakukan ibadah karena malu, begitu juga sebaliknya. Malu kepada Allah bila tidak melakukan kewajiban dan menjauhi larangan-Nya karena malu kepada Allah, malau dalam konteks ini adalah sebagian dari perbuatan iman. Jadi, Koruptor yang merampok uang rakyat tidak lain adalah disebabkan karena pada saat melakukannya pasti tidak disertai dengan sifat malu, sehingga dengan mudah ia melakukan semaunya
Rasul Saw bersabda :
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari kalam nubuwwah yang terdahulu adalah “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah semaumu”(HR. Al Bukhari / 6120)

Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasul saw
“Demi Allah, kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah swt).” (HR.al-Bukhari). Rasa malunya menghalangi dia untuk berbuat dusta atas nama Rasulullah saw lantaran malu jikalau Abu Sufyan akan dituduh sebagai pendusta.
***
Menempatkan sifat malu sesuai pada porsi dan kebutuhannya akan menjadi hiasan setiap aktifitas yang dikerjakan, malu kepada Allah dalam meninggalkan perintah, malu kepada jabatan bila berkhianat dan seterusnya, untuk itu perlu bagi kita mengoptimalkan rasa malu itu dengan membangun logika akal sebagai pertimbangannya dan agama sebagai ‘patokan’ hidupnya, agar merasakan malu atas tanggung jawab yang diembannya Rasul saw bersabda:

مَا كَانَ الْفُحْشُ فِي شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ، وَمَا كَانَ الْحَيَاءُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ
“Tidaklah perbuatan keji ada pada sesuatu kecuali akan mengotori. Dan tidaklah sifat malu ada pada sesuatu melainkan pasti akan menghiasinya.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Dalam kaitannya masalah di atas Hasan al-Bashripernah mengatakan ada empat hal bila empat hal tersebut ada pada diri seseorang satu saja maka ia dianggap menjadi oranag yang sholih
  • Agama sebagai petunjuknya
  • akal yang meluruskannya
  • mawas diri yang menjaganya
  • malu yang menggiringnya.”
Sifat malu membuahkan terjaganya kehormatan dan wara’ yang merupakan sifat mulia di hadapan Allah dan makhluknya, seseorang yang hidup tanpa rasa malu akan dibenci oleh manusia lainnya, terlebih lagi jika soal makan (harta) dan jabatan. Gejolak akhir-akhir ini banyak yang sudah tidak malu-malu dalam soal jabatan telah terjadi, mayoritas yang ingin duduk sebagai calon legislatif dibangsa ini minta dipilih, menurut kami, hal itu adalah sangat menggelikan bukankah mereka juga harus malu pada dirinya sendiri bila tidak mempunyai kelebihan dan kehebatan dalam menejemen berstrategi mengatur rakyatnya. Namun yang terjadi bukan sikap malu yang tumbuh adalah dorongan nafsu merasa bisa menjadi pimpinan. Mungkinkah masih ada rasa malu dalam dirinya? jawabnya yang pasti dapat dijumpai dalam dirinya masing-masing



J-Theme